ACU
SIMPANGLIMA
Kisah ini bertutur pada pengalaman
merintis sebuah usaha jual-beli yang bergerak di bidang teknologi turunan
Alexander Graham Bell, pematen telepon pertama di dunia. Prospek bisnisnya
lumayan bagus, mengingat Palopo sebagai kota yang mulai padat penduduk.
Hidup di kost seukuran kandang kambing membuat sesak, apalagi terhadap
seorang pengangguran beristri satu sepertiku, rencanya sih tiga atau empat
kalau ada sedikit rezeki.
Pekerjaanku masih nomaden seperti pekerjaan manusia purba yang selalu
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain mencari sesuap nasi. Di mana
ada tawaran kerja di situ aku berada yang penting halal. Inilah efek dari nikah
buru-buru, tanpa kesiapan mental dan materi akhirnya seperti ini. Meskipun
demikian aku tetap berusaha untuk menunjukkan pada semua orang bahwa aku adalah
lelaki yang penuh tanggung jawab, aku takan mati karena lapar.
Tuntutan ekonomi keluarga semakin
menghimpit, benteng ekonomi bertahan belum terbentuk, karena itu kuputuskan
mencari kerja yang lebih modern, menetap di satu pekerjaan yang harus jelas sumber
penghasilannya.
***
Hari ini suasana cukup romantis, gerimis
kulihat seksi, tiap butir yang jatuh ibarat janda baru bangun. Rintik-rintik si
janda muda mulai membasahi teras kost, atap rumbia yang bocor melengkapi kesan
miskin penghuninya. Kehangatan pagi menjelang siang yang dibawa sang mentari mendadak
hilang ulah si janda muda yang mau tebar
pesona.
Setelah bosan menikmati pesona hujan,
aku masuk ke kamar kost dan
menghampiri permaisuri koro-koroang, seorang
perempuan yang selalu komat-kamit saat dompet mulai menipis apalagi jika isinya
hanya tersisa selembar kartu tanda penduduk.
“Sayang, jual beli Hpki saja,” kata istriku seakan mengerti
isi hatiku.
“Nda
ada modal bah,” jawabku tidak semangat.
“Ada ji saya simpan.”
“Betul kah, berapa?” seperti anak
bodoh mendengar pengumuman telah naik kelas, mataku berbinar penuh harapan.
“ 550ribu,” kata istriku.
Wowww... tidak kusangka. Ternyata
istriku mampu menyimpan uang padahal godaan dunia semakin menggiurkan. Saya
salut karena dia tidak tergoda dengan rayuan selembar spanduk yang banyak
terpampang di sudut jalan dengan tulisan ‘beli dua gratis satu’. Istriku seakan
paham strategi pemasaran sebuah usaha, dimana inti dari sebuah usaha adalah perputaran
uang. Mirip air, modal atau barang hasil produksi yang terlalu lama mengendap hanya akan
menambah biaya penyimpanan dan resiko rusak.
Istri yang pandai menyimpan uang
seperti ini sepatutnya diberi nobel penghargaan sebagai penyimpan uang tercanggih
masa kini. Hanya penyimpanan uang seperti ini yang tidak bisa dideteksi oleh
para nasabahnya.
Bermodal dana yang telah cair dari brangkas
canggihku, saya mulai membuka group jual-beli di Facebook. Postingan pendatang baru telah mewarnai banyak group jual
beli bahkan saking semangatnya postinganku juga terpampang di salah satu group musik
lokal.
Komentar demi komentar di postingan
yang baru saja di setujui oleh admin mulai bermunculan. Kuamati satu-persatu, kuseleksi
dengan ketat hingga tawar menawar pun dimulai.
“Hallo...” seseorang menelponku.
“Siapa ini?” tanyaku.
“Saya yang di group tadi.”
“Oh iye. Berapa kita lepaskan i
Hpta?”
“Cek miki dulu, Bos.”
“Bisa ga tabawa di kostku?” aku berharap dia datang karena motorku sedang sekarat.
Tadi malam aku hampir terjatuh karena
sesuatu seperti goa tidak kulihat di tengah jalan. Lampu motor serupa lampu
disko (kadang menyala kadang mati, adakalanya saat padam ia harus ditepuk keras
dibagian batoknya seperti memukul pundak orang tersedak ayam) hampir membuatku
celaka.
Karena lubang itu, terpaksa ban motor
yang sudah kelihatan benang-benangnya—telah gundul—masuk menghantam lubang
hingga bunyinya seperti orang tercekik. Hampir saja aku celaka, pengorbanan motor
tua yang harusnya jadi rongsokan telah menyelamatkan hidupku. Beruntung aku
masih bisa pulang dengan selamat meski dalam keadaan velg bengkok.
“Aichhh...
nda bisa, kita’ mi yang ke sini, Bos.
Masalahnya jauh juga rumahku...” alasan si penjual tak mau kalah.
“Jadi bagaimana mi?”
Setelah aksi telpon-telponan usai, akhirnya
kami bersepakat untuk bertemu di suatu tempat. Di sebuah taman yang beberapa
hari lalu diresmikan pemerintah kota.
Taman SEGITIGA-Binturu akhir-akhir ini
populer di masyarakat Kota Palopo, tak jarang pengunjung dari luar kota bahkan
artis ibukota sekelas Evi Masamba singgah untuk berfoto mengabadikan moment,
sebuah tugu kecil bertulis I LOVE PALOPO CITY dengan warna merah-putih
menegaskan bahwa kota ini adalah bagian dari Indonesia. Terlebih saat malam tiba,
suasananya semakin menarik, lampu led penuh warna silih berganti terpancar
indah menerpa bunga raksasa putih menjadi hiasan kota penuh gaya. Taman yang
semula hanya dihuni oleh tugu para pahlawan tidak terawat telah dipercantik sedemikian
rupa sehingga menjelma menjadi salah satu ikon Kota Palopo.
Alhasil, di tempat ini saya mendapat
barang incaran. HP Android atau smartphone
merk ACU type SIMPANGLIMA, terbeli
dengan harga 500ribu. Dengan penuh semangat, saya segera memacu si butut yang
kini berjalan seperti kuda kehausan, terseok-seok karena velg bengkok. Dengan kecepatan dibawah rata-rata akhirnya aku sampai
di kost. Tiba di kost segera saja aku menemui ‘si brangkas’ mantap.
“Sayang ada mi saya dapat,” sambil menaikkan sebelah alisku.
“Iye ga?” mata istriku berbinar.
“Serius. Cobaki liat ini.”
Kukeluarkan dari kantong dengan
semangat bergelora seperti semangat para pahlawan di taman tadi. Taraaa... ini
dia. Kuberikan penuh rasa percaya diri.
Beberapa saat kemudian...
“Kenapa begini...?!!” istriku berteriak dan menatapku
sangat kejam. Aku membayangkan rambutnya yang acak-acakan karena belum mandi mulai
pagi berubah menjadi rambut singa jantan yang mengaung.
“Kenapa i sayang na?” kataku
cemas.
“HP rusak ini...” dia berteriak sudah
menyerupai singa. Mulutnya terbuka lebar lengkap dengan gigi-gigi tajam yang
siap menerkam.
“Maksudnya?” kecemasanku bertambah.
Segera kuperiksa ternyata benar, ACU
SIMPANGLIMA yang kubeli tadi error layar sentuhnya. Saat ditekan icon bulat di layarnya loncat-loncat
girang seakan mengejekku dan berkata ‘Hahaha... dasar pemain baru, kamu kena
tipu...’
“Astagfirullah... maaf sayang, nda saya periksa tadi bah,” kataku memberi alasan.
“Kasi’
kembali sama itu orang...!!!” dibutuhkan 1% lagi agar dia menjadi singa.
“Iye,
iye...”
Segera saja kutelepon anak sialan
itu...
‘Nomor yang Anda
hubungi di luar jangkauan...’ begitu jawaban teleponku. Aku kelabakan
seperti ayam mau dipotong, ku cari facebooknya, akun dan profilnya tidak
kutemui ternyata aku diblokir.
Waduh... bahasa apa lagi yang kiranya
bisa dijadikan mekanisme pertahanan diri kalau sudah begini? Dalam kost yang pengap kulihat istriku tiada
henti komat-kamit, aku semakin ngeri
karena dia telah menjadi singa kesurupan.
***
Banyak yang bisa dipercaya, namun tak sedikit
juga yang curang. Uang yang harusnya di pakai bayar kost bulan ini sudah hilang dimakan anak setan.
Tak dapat dipungkiri bahwa zaman serba
canggih membawa banyak kebaikan dalam aspek
kehidupan. Meskipun demikian, kita tetap harus waspada karena perkembangan
zaman yang semakin maju—seperti kehadiran internet yang dapat mengakses hampir
semua data dan informasi—diibaratkan dua mata pedang, satu sisinya bisa menghidupkan
sisi lainnya bisa membunuh.
Zaman tak bisa
disalahkan apalagi jadi alasan agar tidak bergerak maju, yang perlu
diperhatikan dan diberi pengawasan adalah mereka yang tidak memiliki bekal
etika dan moral dalam mempersipakan perjalanan menuju zaman yang lebih modern.
Comments
Post a Comment