Suatu
hari aku duduk di teras showroom dekat parkiran sebuah perusahaan swasta. Sebuah kantor
sekaligus showroom yang posisinya sangat strategis, berada pas
di perempatan sebelah utara PNP (Pusat Niaga Palopo) lebih dikenal dengan nama
pasar sentral. Tempat ini sangat banyak dikunjungi orang, namanya juga daerah pasar, salah satu daerah yang cukup padat, banyak pejalan dan pengendara
lalu-lalang, pergi-pulang pasar, secara otomatis banyak lewat di depan showroom, tak jarang ada pengunjung yang datang dengan niat awal pergi ke
pasar tapi akhirnya malah singgah membeli beberapa furniture dan barang elektronik yang tersedia di showroom. Dentuman suara dari speaker system ‘home teater’ merek
ternama yang dipajang—sengaja diputar—untuk menjadi magnet penarik
pelanggan. Biasalah, ini strategi pemasaran.
Aku bekerja sebagai salesman di sini. Sebagai sales kami
memiliki tanggung jawab yang cukup besar, kegiatan penjualan produk berada di
tangan kami. Hal yang sangat wajib kami miliki adalah kemampuan berbahasa
santun dan perilaku sopan, begitulah komunikasi bisnis. Tumpuan akhir
perusahaan bergantung pada kecepatan penjualan yang kami lakukan meski kami
diupah dibawah rata-rata. Gaji yang kami peroleh jika dikalkulasi sebenarnya
tidak cukup untuk beban hidup selama sebulan, terlebih pada anak kost seperti
saya, banyak pengeluran; bayar listrik, bayar air, biaya transportasi, biaya
makan dan biaya tak terduga lainnya. Hal yang paling lucu saat akhir bulan
adalah diminta mentraktir dengan rayuan, “Cie... habis gajian nie... traktir
dooonnggg...” mereka tidak paham jika sesungguhnya kami sangat kekurangan yang mereka
tahu adalah bahwa kami kerja.
“Ada
spekaer sistem yang baru masuk,” kata Pak Mamat si kepala gudang.
“Mau
dipajang kah, Pak?” sahut Agus.
“Iya.”
Saya
dan Agus bergegas mengatur pajangan baru yang memiliki power speaker yang lebih
kencang dan menendang yang dibawa Pak Mamat.
Tiba-tiba
ada orang berdiri tepat dihadapan kami. Bertepatan dengan diputarnya spekaer
system baru ia pun melancarkan aksinya. Ia berjoget seiring irama DJ. Sambil
berjoget ia seolah-olah bernyanyi, tangannya sesekali menyapa kami bak artis
terkenal yang menyapa ribuan penggemarnya. Para sales promotion girls-SPG
yang bertugas di showroom pada hari itu tak mau ketinggalan
momentum, mereka meninggalkan ruangan dan bergabung bersama kami. Kamipun
dibuat layaknya penggemar yang menonton konser tunggal seorang artis. Pak Mamat
si kepala gudang juga tak mau ketinggalan untuk melihat pemandangan yang tidak biasa itu.
“Orang
gila Gus,” kataku.
“Bukan,
dia bukan orang gila,” jawab Agus.
“Apa ji
pale?”
“Sakit
jiwa ji ini orang.”
“Bah, sama ji na?”
“Nda’ sama.
Saya pernah baca buku tentang penelitian orang sakit jiwa. Dalam buku tersebut
dikatakan, sekiranya orang sakit jiwa bisa diajak berbicara dan ia ditawari
untuk menjadi waras maka jawabannya adalah tidak! Dia tidak akan mau jadi
waras.”
“Kenapa
bisa, Gus?”
“Menurut
si peneliti dalam kajiannya, orang sakit jiwa tidak ingin sembuh karena dalam
kehidupan yang waras keinginan mereka tidak dapat terwujud. Ia bisa mewujudkan
semua yang diinginkan hanya dengan cara itu.”
“Dengan
cara menjadi gila?”
“Bukan
gila, sakit jiwa.”
“Sama ji
bah.”
“Terserah mi
pale. Anggap saja sama.”
“Lanjut
lagi e, kayaknya ini menarik.”
“Semoga
saja kamu tidak gila.“
“Bah, maja’
to ada atu.” Aku tertawa, merasa lucu sendiri. Agus melanjutkan,
“Salah satu contoh kasus yang digambarkan dalam buku tersebut adalah seorang ibu
yang dalam kehidupan nyata tidak bisa memiliki anak. Si peneliti mencari semua
informasi terkait orang ini. Dalam temuannya ternyata dia adalah istri
dari seorang pengusaha sukses, namun malang melintang ia ditinggal suaminya
karena dokter telah memvonisnya mengalami kelainan rahim. Kata dokter, ini
disebabkan oleh perlengketan, polip atau mioma.”
“Ah,
tidak mengerti ka’.”
“Nah,
karena stres berlebih dia menjadi tidak waras pada akhrinya jadilah dia ‘orang
gila’ seperti yang kamu maksud. Setelah akhirnya gila ia selalu menggendong
boneka bayi. Dalam kegilaanya, boneka itu ia anggap sebagai bayi betulan.
Boneka bayi itu—dalam pandangan si ibu—merupakan manifestasi, perwujudan dari
bayi yang diinginkannya.”
“Ngerinya
mi.”
“Tapi
ada satu yang lebih gila lagi,” lanjutnya.
“Gus,
sepertinya kamu baanyak tahu tentang orang gila. Jangan-jangan kamu salah
satunya?” saya terbahak dan semakin asyik mendengar Agus sampai-sampai tidak lagi
menghiraukan kondisi sekitar.
“Serius
ini.”
“Lanjut mi
pale. Asyik sekali bahas orang gila.”
Agus
pun mulai mengisahkan sebuah riwayat yang katanya masih ia dapat dari makanan
kering berupa buku. Berikut kisahnya, sebuah kisah tentang yang lebih gila dari
anjing gila, eh salah, orang gila maksudnya.
Imam
Muslim pernah meriwayatkan sebuah hadits bahwa:
Pada
suatu hari Rasulullah SAW melewati sekelompok sahabat yang sedang berkumpul
kemudian salah satu diantaranya berkata pada Rasulullah, “Ya Rasul, ini ada
orang gila yang sedang mengamuk. Karena itu kami kumpul di sini.”
Rasul
SAW bersabda, “Orang ini tidak gila. Ia sedang mendapat musibah.” Rasul SAW
bertanya kembali, “Tahukah kalian siapakah orang gila yang benar-benar gila?”
“Kami
tidak tahu.”
Rasulullah
menjelaskan, “Orang gila adalah orang yang berjalan dengan sombong, yang
memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada,
berharap akan surga tapi berbuat maksiat kepada-Nya, yang kejelekannya membuat
orang lain tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan.”
***
Kisah
yang Agus ceritakan dalam diskusi itu membuatku bertanya siapakah Agus ini.
Yang aku tahu dia adalah seorang sales, sama sepertiku. Tapi kenapa
dia begitu banyak pengetahuan tentang orang gila? Jangan-jangan dia memang
penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh, “Alasannya ji kapang dari
buku...” pikirku dalam hati.
Ternyata dugaanku salah, dia adalah aktivis, seorang mahasiswa
jurusan pertanian di Universitas Andi Djemma yang sangat aktif dalam dunia
organisasi, dia menjadi sales di perusahaan ini untuk memutuskan
mata rantai ketergantungan antara dia dan orang tuanya. “Saya mau biayai
kuliahku sendiri,” katanya suatu hari. Tak heran dia banyak pengetahuan meski
berlatar belakang anak pertanian. Rasanya ingin kuliah seperti Agustamar.
Comments
Post a Comment