Skip to main content

Kesal Jadi Sesal 'Cerpen'



"Aku mengintip di balik tirai kamar yang sesekali bergoyang diterpa angin dari pintu utama, kulihat dia menangis, jari kecilnya mengusap-usap kedua kakinya. Wajah polos yang tak berdosa itu buatku merasa sangat menyesal."
***
Aku bekerja sebagai office boy di sebuah penginapan di kotaku, Kota Palopo, kata orang ini kota idaman dengan keanekaragaman budayanya. Sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan yang jaraknya 8 jam dari ibukota provinsi, Kota Makasar.
Hari ini aku minta izin pulang sedikit lebih awal karena sudah seminggu adikku sakit, panas badannya tak kunjung turun walau sudah kuberi obat. Sore itu, aku berjalan menyusuri gang sempit menuju rumahku. Sebenarnya aku malas lewat sini, becek, tapi apa mau dikata hanya ini penghubung satu-satunya ke rumahku.
Setiba di rumah kucari adikku, semua ruangan telah habis kugeledah namun hasilnya nihil, dia tidak ada. Rasa khawatir menyerang karena tak ada petunjuk, setidaknya ada orang yang bisa ku tanya di mana adikku. Sejenak aku duduk menghela napas seperti banteng, duduk terdiam di sebuah kursi rotan peninggalan bapak, aku cemas, seketika bayangan masa dulu terlintas seperti hantu. Masa dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk bercerai dan meninggalkan kami berdua.
Waktu itu aku berusia 12 tahun dan adikku masih berumur 1 tahun, sungguh kecil untuk ditinggal, masa kecil kami direnggut oleh arogansi dan keegoisan dua manusia yang pernah saling jatuh cinta. Inikah yang disebut cinta? atau jangan-jangan mereka menikah karena nafsu semata bukan didasari pertimbangan akal dan kesiapan mental. Apakah mereka sudah lupa nasehat perkawinan?
Entah persoalan apa yang mereka perdebatkan sehingga memutuskan berpisah. Sungguh tidak adil bagi kami terlebih bagi adikku, anak sekecil itu tidak akan mengerti meski seribu bahasa pembenaran yang kalian lontarkan untuk menutup kesan buruk sebagai orang tua. Orang-orang dewasa banyak yang mengedapankan ego dan jadilah kami korban perseteruan, kejam, lebih kejam dari perang.
Kami mengalami masa yang sangat berat, kami hidup tanpa ayah dan ibu. Saat itu aku terpaksa berhenti sekolah di kelas 5 sekolah dasar  demi memenuhi kebutuhan hidup. Tahun demi tahun terlewati, walau sulit tapi Tuhan sungguh hebat, bekerja dengan cara yang sangat halus, kami diberi kesabaran dan ketabahan sehingga masa sulit itu tak terasa berlalu dan kami masih bisa menunda kematian hingga sekarang.
Sebelum menjadi office boy, aku bekerja sebagai kuli bangunan aku rela banting tulang siang dan malam. Aku tersiksa bukan hanya secara pisik tapi juga mental karena sering kali kepala tukang marah ketika aku tidak mampu mengangkat batu ke atas lori-lori, gerobak dorong. Sesekali, saat mentari masih berselimut gelap aku pergi mencari kardus bekas pembuangan toko untuk kujual pada pengepul di pagi hari. Semua kulakukan untuk mengelabui adikku, aku tidak mau jika perhatiannya tertuju pada kedua manusia itu, tak tahan rasanya ketika dia merengek mencari ibu dan bapaknya.
Tiga tahun setelahnya aku mengalami perbaikan nasib, seorang kuli bangunan menjadi office boy. Di usia yang ke 15 ini pekerjaanku lebih ringan. Walau profesi OB bagi kebanyakan orang adalah pekerjaan rendahan tapi menurutku itu adalah pencapaian yang luar biasa. Aku tak perlu lagi mandi keringat untuk makan.
***
Beberapa saat kesadaranku bertepi saat terhanyut gelombang kenangan masa dulu, pikiran kembali tertuju pada adikku. Ya, adikku. Kucari di luar rumah menyusuri lorong-lorong hanya tikus got kutemui, rasa campur aduk berkecamuk dalam batin. Seorang tetangga bernama Ibu Wati mungkin membaca kegelisahan yang terlukis di raut wajahku yang tirus. Dia menghampiriku, "Kamu kenapa?"
"Adikku, Bu'. Ibu tidak melihatnya?"
"Oh, dia ada di rumah Bundanya Asthi," jawabnya santai sambil berlalu.
Tanpa basi-basi kuhampiri adikku di rumah tetangga sebelah yang jaraknya 10 rumah dari rumahku, kutarik lengannya dan menyuruhnya pulang. Sampai di rumah aku tak bisa menahan emosi hingga akhirnya 'meledak'. Setan menguasai jiwaku. Tanpa iba, aku menghajarnya habis-habisan. Begitu kerasnya ia kutampar hingga pipinya memerah. Belum puas, ku ambil lagi seikat sapu lidi dan kembali memukulnya. Kaki kecil itu menjadi sasaran kemarahanku. Aku baru berhenti ketika ikatan sapu itu lepas, lidi-lidi terhambur. Adikku hanya bisa meringis tanpa perlawanan.
Setelah puas memukulinya aku membentak menyuruh mandi, secepat kilat ia bergegas terbirit-birit ketakutan. Beberapa saat setelah keluar dari kamar mandi kulihat dia masuk ke kamar dengan wajah yang masih ketakutan. Aku mengintip di balik tirai kamar yang sesekali bergoyang diterpa angin dari pintu utama, kulihat dia menangis, jari kecilnya mengusap-usap kedua kakinya. Wajah polos yang tak berdosa itu buatku merasa sangat menyesal, butiran air mata tak mampu kubendung, aku menangis tak bersuara, di pikiranku terbayang lagi dua sosok itu. Sekiranya mereka masih ada, mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Sedih kian bertambah tapi ego menepis. Aku berusaha melawan pikiranku, kupaksa otakku membayangkan dan mengingat kejadian buruk masa dulu ketika orang yang diharap melindungi ternyata berpaling tanpa belas kasihan.
"Tidak semua orang tua di dunia ini memiliki hati yang mulia. Aku benci..." gumamku.
Keesokan harinya aku bersiap berangkat kerja. Ku titip adikku pada Ibu Wati.
"Bu', saya minta tolong. Adikku sendirian di rumah, kuharap Ibu mau menjaganya sebentar. Ini aku titipkan obat, mungkin dia demam. Kalau ada keperluan lain tolong diberikan, sepulang kerja saya akan ganti." Tetangga yang baik hati itu mengangguk menyanggupi permintaanku.
Sampai di penginapan langsung kukerjakan semua tugasku sebagai office boy, mulai kubersihkan semua kamar yang penghuninya sudah chek out, mengganti seprei, merapikan bed, mengatur meja dan kursi ke posisinya semula, melap jendela, mengepel lantai sampai membersihkan toilet yang penuh dengan pembalut menjijikkan.
Sungguh aku tak fokus saat kerja, jasadku di penginapan tapi jiwaku di rumah, tiada henti aku melamunkan kejadian kemarin. Tak terasa air mataku menetes.
"Kamu kenapa? Sakit ya?" tanya sang manager mengagetkanku.
"Tidak Pak," jawabku mengelak.
"Kalau sakit bilang saja, nanti saya suruh Pak Udin bereskan pekerjaanmu," katanya penuh perhatian.
Pimpinan penginapan ini memang sangat baik, bukan hanya padaku tapi kepada seluruh karyawannya. Ia sosok pemimpin demokratis. Jika ingin memutuskan sesuatu terkait peraturan karyawan dia melibatkan dan meminta pendapat kami para bawahannya. Tapi jujur, menurut penilaianku aku merasa diperlakukan istimewa, hampir semua keperluanku ia penuhi. Entah karena kasihan atau seperti apa, aku tak tahu pasti. Setelah menyelesaikan tugasku, aku bergegas untuk pulang karena dari tadi perasaanku tidak tenang.
"Kamu sudah mau pulang?"
"Iya Pak, kerjaanku sudah selesai."
"Ini untukmu." Managerku memberi sebuah amplop.
"Alhamdulillah... makasih, Pak."
Aku lupa ternyata sudah akhir bulan, balas jasaku terbayarkan, aku gajian, oh Tuhan aku sangat senang. Aku ingin mengajak adikku ke mall. Ya mall, tempat yang sangat disenangi adikku, banyak mainan di sana, meski tak pernah kami beli, sekedar melihat saja kami sudah senang. Semoga ini akan menjadi tebusan kesalahanku.
"Apapun yang dia inginkan hari ini pasti kuturuti," pikirku dalam hati.
Seperti biasanya, kembali kususuri gang sempit becek menuju rumah. Sampai di sana kulihat Ibu Wati tunduk termenung, ia duduk di kursi rotanku di teras rumah, wajahnya murung. Aku hampiri dan bertanya,
"Kenapa, Bu'? Apa yang terjadi?" rasa penasaran bercampur khawatir memaksa meminta jawaban secepatnya. Dengan suara berat ia berkata,
"Kaki adikmu bengkak, sepertinya harus diperiksakan ke dokter."
Belum sempat ia lanjutkan aku berlari masuk ke dalam rumah memastikan kondisi adikku. Ternyata benar, luka yang kutimbulkan memang parah, kakinya bukan bengkak biasa, memar biru kehitam-hitaman seperti mau meletus. Spontan, aku menangis memeluk erat adikku, wajahnya terbenam dalam pelukku. Oh Tuhan, ampuni aku. Kupandangi lagi wajah adikku, dan kulihat masih ada bekas tanganku di pipinya, adikku hanya terdiam kebingungan. Ya Allah, Ya Tuhan, Ya Robbi, apa yang telah kulakukan, aku tidak menyangka lukanya akan separah ini. Aku memeluknya sambil mengucap kata maaf. Ibu Wati yang ternyata membuntutiku juga hanyut dalam suasana, ia pun menangis melihat kami berpelukan. "Bu' tolong panggil angkot kita harus segera ke rumah sakit," aku memelas.
***
Di rumah sakit, dokter menyarankan agar adikku diberi perawatan khusus, ia akan di opname karena lukanya benar-benar parah. Aku bingung, sepertinya aku tidak bisa menyanggupi permintaan dokter karena pertimbangan biaya. Adikku terpaksa dirawat seadanya. Satu minggu berlalu. Aku tak pernah meninggalkan adikku, memberi kabar ke tempat kerja pun aku tak sempat.
"Nak, bisa ke ruanganku sekarang!? Kita harus membicarakan sesuatu," kata dokter. Aku memenuhi ajakannya.
"Adikmu harus segera dioperasi."
"Dioperasi...??? Apakah tak ada cara lain, dok...?!!" mataku membelalak.
"Maaf, ini jalan satu-satunya. Jika tidak dilakukan segera kemungkinan besar nyawa adikmu tak dapat ditolong," tegasnya.
Bagai disambar petir mendengar penjelasan dokter, aku tidak tau harus bagaimana. Aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya operasi. Bahkan, gajiku sebulan hanya bisa menutupi obat-obatan rumah sakit. Aku duduk termangu di kursi besi tempat tunggu para pembesuk.
Dalam keputusasaan aku dihampiri seseorang. Pandanganku yang agak kabur karna air mata, tak mampu mengenali sosok yang sedang berdiri di hadapanku. Ku usap wajah dan menyeka air mataku, baru aku bisa melihat jelas. Dia, dia managerku.
"Kamu kenapa tidak bilang kalau ada hal seperti ini? Bukankah sudah kukatakan agar kau bilang jika butuh sesuatu?!!" Aku diam, cukup air mataku yang bicara.
Sang manager berlalu dari hadapanku kulihat dia menghampiri dokter berjalan menuju sebuah ruangan sampai akhirnya hilang diantara keramaian para pembesuk.
***
Kembali saya tersentak-kaget. Aku panik ketika dokter mengatakan bahwa kaki adikku harus diamputasi. Lukanya infeksi, obat-obatan seadanya itu tak cukup membantu, aku menjerit menahan pilu, rasanya tidak sanggup menerima kenyataan ini.
Aku tidak punya pilihan lain aku harus merelakan semua ini meski terpaksa. Dari awal persiapan sampai operasi selesai, aku tiada henti berdo'a untuknya. Setelah operasi selesai aku minta pada dokter untuk melihat adikku tapi tidak diijinkan katanya adikku belum sadar perlu beberapa menit untuk menghilangkan reaksi biusnya.
Beberapa saat kemudian, aku diperbolehkan masuk. Dengan perasaan bersalah aku mencoba melangkahkan kaki walau berat. Aku memberanikan diri untuk masuk melihatnya. Kulihat salah satu kakinya terbalut perban, perban putih membungkus lututnya. Saat melihatku masuk ruangan, adikku berteriak menengadahkan kedua tangannya padaku, ia menangis dan bicara terbata-bata.
"...akak, ade' minta maaf, ade' sayang akak. Ade' tidak akan buat akak marah lagi. Ade' janji tidak akan pergi ke mana-mana lagi, tolong akak, kembalikan kaki ade'. Kata akak, ade' sudah tidak lama lagi sekolah, bagaimana ade' bisa sekolah kalau kaki ade' diambil, akak...???"
Aku tertampar kata-kata polos itu, kata-kata yang keluar dari mulut seorang bocah yang belum bisa bicara sempurna. Dalam kesedihan yang teramat dalam, rekaman peristiwa kemarin kembali berputar di otakku. Kembali aku meneteskan air mata, air mata penyesalan yang sungguh tidak sebanding dengan penderitaan adikku.

Aku merasa sangat bersalah, aku kalah, seorang pelindung telah bertindak sebaliknya. Aku hanya mampu menyesali perbuatanku, kesalku jadi sesal. Maafkan aku, dik.

Comments

Popular posts from this blog

Fhilia Azkayra 'Cerpen'

Fhilia Azkayra Seorang bayi perempuan mengucap salam pada dunia lewat tangisan pertamanya. Salah satu rumah sakit ternama nan mewah di Kota Palopo menjadi saksi kelahirannya. Aku punya sedikit cerita tentang rumah sakit ini. Namanya Rumah Sakit Mega Buana. Dulu ia adalah sebuah hotel bernama Hotel Mega Buana.  Pernah aku berpikir dan bertanya dalam hati, “Kenapa hotel dirubah jadi rumah sakit? Bukankah banyak biaya? Kan, hasilnya tetap bisa menghidupi pemiliknya?” Belakangan ini jawabannya baru kutemui, “Mungkin pemilik rumah sakit ingin menghanyutkan segala dosa maksiat yang pernah mengalir. Dengan menjadi rumah sakit bisa jadi semua terbayarkan.” Untung saja tidak sebaliknya, jika demikian pastilah aku bertambah pusing. Pukul. 11.20 wita, 20 desember 2017, seorang bayi dengan berat 2,3kg dan panjang 47cm telah lahir normal, tanpa caesar . Kehadirannya membuat banyak orang bungkam. Selama 4 tahun sepasang suami istri hidup dalam cibiran dan cerita miring, membuat telinga panas

Aku Bukan Gila 'Cerpen'

Suatu hari aku duduk di teras  showroom  dekat parkiran sebuah perusahaan swasta. Sebuah kantor sekaligus  showroom  yang posisinya sangat strategis, berada pas di perempatan sebelah utara PNP (Pusat Niaga Palopo) lebih dikenal dengan nama pasar sentral. Tempat ini sangat banyak dikunjungi orang, namanya juga daerah pasar, salah satu daerah yang cukup padat, banyak pejalan dan pengendara lalu-lalang, pergi-pulang pasar, secara otomatis banyak lewat di depan  showroom , tak jarang ada pengunjung yang datang dengan niat awal pergi ke pasar tapi akhirnya malah singgah membeli beberapa  furniture  dan barang elektronik yang tersedia di  showroom . Dentuman suara dari speaker system ‘home teater’ merek ternama yang dipajang—sengaja diputar—untuk menjadi magnet penarik pelanggan. Biasalah, ini strategi pemasaran. Aku bekerja sebagai  salesman  di sini . Sebagai sales  kami memiliki tanggung jawab yang cukup besar, kegiatan penjualan produk berada di tangan kami. Hal yang sangat waj