Defenisi Islam
Islam
adalah agama dan cara hidup berdasarkan syariat Allah SWT yang terkandung dalam
kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang
yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan
kehidupannya berdasarkan syariat yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf
Qardhawi, syariat Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan
agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan
integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan — idealnya Islam ini tergambar dalam
dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
Pengejawantahan
syariat Islam atas dua sumber utama dan pertama syari‟at Islam Dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era
mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan
perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan — yang
menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi
sekedar sederhana. Eksistensi syari‟at Islam yang
konsisten/ajeg pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru
harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan
manusia.
Sebagaimana
dibahasakan Hasan Bisri hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam,
dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam
dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan,
situasai, dan kondisi dewasa ini sg paradigmanya.
Berdasarkan
hal tersebut diatas, maka orang Islam (khususnya para alim ulama Islam Umum
seluruh umat Islam) dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap
khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal
ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam
yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh dan yang
namanya fiqh itu senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus
dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.
Namun
dengan adanya fleksibelitas dalam syari‟at Islam dan tuntutan
bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi per-kembangan
kehidupan ummat bukan berarti atau dimaksudkan ajaran Islam, terutama fiqh
(hukum) nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas
menginterpretasikan Al-Qur‟an dan Sunnah sesuai
kebutuhan hidup manusia — sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu
ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser ke-qath‟i-an Al-Qur‟an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan
manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih
tuntutan humanisme.
Berdasakan
fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan prinsip-prinsip dan
asas-asas hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi
yang tinggi sekali — sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan
hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa
lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya
untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman.
Prinsip-prinsip Hukum
Islam
Syari‟at Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk
mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah.(3) Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud
dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat
aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan
pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah
mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah
atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat).
Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie
mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu.
Sebagaimana
hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas
sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau
sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan
tiang pokonya.
Secara
etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya
S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat
pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda.
Adapun
secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam
hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum
dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan
prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat
unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang
hukum Islam.
Prinsip-prinsip
hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
Prinsip Tauhid
Tauhid
adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada
dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik
dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini,
maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia
dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya.
Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau
sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan
diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip
tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan
apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang
siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat
dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S.
ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
Dari
prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan
dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai
berikut :
Prinsip
Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara — Artinya bahwa tak
seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di
sembah.
Prinsip
Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman,
penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur — Artinya
hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas
nikmat Allah.
Berdasarkan
prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas
kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan
kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut :
Al-ashlu
fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’ — yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib
dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ;
Al-masaqqah
tujlibu at-taysiir — Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan
kemudahan
Prinsip Keadilan
Keadilan
dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata
keadilan dalam al-Qur‟an kadang
diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
Keadilan
pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan
tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan
ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa
perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat
keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan
maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk
memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi
individu dan masyarakat.(10)
Penggunaan
term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
QS.
Al-Maidah : 8 — Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu,
adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan
mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi) ;
QS.
Al-An‟am : 152 — Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala
hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan
dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang ;
QS.
An-Nisa : 128 — Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri ;
QS.
Al-Hujrat : 9 — Keadilan sesama muslim ;
QS.
Al-An‟am :52 — Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang
harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan
kewajiban tersebut.
Dari
prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya
dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan
elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan
dari prinsip keadilan, yaitu : ..
Artinya
: Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas;
apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori
„keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua
terori turunan, yaitu :
al-sala’h
wa al-aslah dan
al-Husna
wa al-qubh.
Dari
kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
Pernyataan
Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” — perbuatan
tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
Pernyataan
Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif sehingga
dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian
halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal
sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
Prinsip
Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum
Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik
dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat
diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi
Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi
Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
Prinsip
Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip
kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak
berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi.
Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg
mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal.
Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam
beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
Prinsip
Persamaan/Egalite
Prinsip
persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah),
yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas
manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan
berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
Prinsip
At-Ta‟awun
Prinsip
ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai
prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
Prinsip
Toleransi
Prinsip
toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya — tegasnya toleransi hanya dapat
diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah
Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan
ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang
menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan
dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum
Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi
mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana,
ketetapan peradilan dan lain sebagainya.(11)
Azas-azas
Hukum Islam
Azas
secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT :
18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum
Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut
:
Azas
Nafyul Haraji — meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan
itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak
ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada
kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan
hukum Rukhsah.
Azas
Qillatu Taklif — tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak
memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
Azas
Tadarruj — bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap
demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
Azas
Kemuslihatan Manusia — Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang
ada dilingkungannya.
Azas
Keadilan Merata — artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi
yang satu terhadap yang lainnya.
Azas
Estetika — artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk
mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
Azas
Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat — Hukum Islam
dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu
masyarakat.
Azas
Syara Menjadi Dzatiyah Islam — artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal
memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna
memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam
menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
Comments
Post a Comment